PANGKALPINANG LBC – Upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim merupakan salah satu agenda utama dalam tujuan SDGs ke-13 pada tahun 2030 (UN, 2015). Menurut laporan _Intergovernmental Panel on Climate Change_ (IPCC) tahun 2022, terjadi peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang signifikan di atmosfer dari tahun 1990 hingga 2019. Berdasarkan laporan tersebut, sumber emisi GRK berasal dari CO2 hasil industri dan bahan bakar fosil (64%), CO2 dari alih fungsi lahan dan hutan (11%), metana (18%), N2O (4%), dan gas berfluorinasi/F-gases (2%).
Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim juga pernah dibahas dalam peringatan Hari Meteorologi Dunia yang ke-70 pada 23 Maret 2020, mengangkat “Climate And Water” menjadi tema nasional. Dalam kesempatan tersebut, Prof. Karnawati mengatakan bahwa diangkatnya tema tersebut seiring dengan tertujunya mata dunia terhadap isu iklim dan air. Menurutnya perubahan iklim merupakan perubahan jangka panjang dari distribusi pola cuaca secara statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun. Bisa diartikan sebagai perubahan keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata.
Perubahan iklim dapat terjadi secara lokal, terbatas hingga regional tertentu, atau dapat terjadi di seluruh wilayah permukaan bumi. Perubahan itu ditandai setidaknya oleh empat hal, pertama karena adanya perubahan/kenaikan temperatur secara global, kedua kenaikan tinggi muka air laut, ketiga semakin sering terjadinya kondisi cuaca ekstrim dan lainnya, dan keempat terjadi perubahan pola curah hujan.
Perubahan iklim saat ini ditandai oleh semakin meningkatnya frekwensi kejadian bencana hidrometeorologis, diantaranya cadangan ketersediaan air yang semakin berkurang dan atau bahkan bisa menyebabkan kelebihan jumlah debit air pada waktu yang lain, serta kebakaran hutan dan lahan.
Bencana-bencana hidrometeorologis tersebut berpotensi akan meningkat berdasarkan proyeksi perubahan iklim di masa mendatang, dan dapat berpengaruh pada ketahanan sumberdaya air, pangan, dan energi.
Di Indonesia sendiri, dari data historis curah hujan di Jakarta selama 130 tahun yang dikumpulkan oleh BMKG teridentifikasi adanya trend intensitas dan frekwensi hujan ekstrem yang semakin tinggi, berkorelasi dengan kejadian banjir di Jabodetabek sejak 30 tahun terakhir. Perubahan iklim juga berpengaruh terhadap peningkatan suhu udara. Suhu udara di Indonesia pada 30 tahun terakhir naik sekitar 0,1 derajat celsius. Kenaikan tersebut terlihat kecil, namun dunia telah membatasi bahwa sampai tahun 2030 perubahan suhu tidak boleh lebih dari 1,5 derajat celcius. Sementara itu hingga tahun 2020 ini kenaikan suhu di Indonesia sudah hampir mencapai 1,6 derajat Celsius sejak 1866.
Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim sangatlah besar bagi kelangsungan hidup manusia dan organisme lain, maka diperlukan upaya untuk menghadapi hal tersebut. Tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim merupakan salah satu upaya untuk menghadapi peristiwa perubahan iklim yang tidak dapat dihindari.
Berbagai tantangan tersebut membutuhkan langkah antisipasi lebih dini agar Indonesia dan dunia mampu beradaptasi dan melakukan mitigasi secara tepat. Masyarakat bisa ikut berperan dalam mitigasi dengan melakukan hal-hal kecil namun dapat mengurangi emisi gas rumah kaca seperti membatasi penggunaan kendaraan bermotor, mulai beralih ke sarana transportasi umum, menghemat penggunaan listrik dan air, mengurangi penggunaan sampah plastik, dan menanam pohon di lingkungan sekitar.
Lebih lanjut, perubahan iklim ini tidak memandang batas territorial dan setiap negara pasti merasakannya. Terobosan dan lompatan inovasi berbasis kepada big data analytics dan artificial intelligent merupakan keniscayaan untuk peningkatan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli perlu berfokus pada usaha mengurangi emisi karbondioksida untuk menahan laju kenaikan temperatur global. Namun diperlukan juga pendekatan Inovasi Sosial atau Rekayasa Sosial sebagai upaya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim ini.
Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Sekretaris Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nur Tri Aries Suestiningtyas, menyatakan pentingnya peran periset dan profesional muda dalam memperkuat jejaring dan plaform dalam ketahanan bencana dan iklim melalui Sains, Engineering, Teknologi, dan Inovasi (SETI).
Dalam rangka menghadapi permasalahan perubahan iklim dan mitigasi bencana, BRIN memfasilitasi banyak platform untuk keterlibatan internasional (international engagement), termasuk mobilitas periset.
Deputi Bidang SDM Iptek memiliki tugas untuk melaksanakan manajemen talenta. Kemudian Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi memiliki berbagai skema pendanaan riset dan inovasi. Juga Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan menghasilkan science-based policy, termasuk banyak hasil lokakarya yang dikerjakan bersama UNESCO.
Dirinya meyakini, dengan semangat kolaborasi semua pihak yang berkontribusi langsung pada tujuan Pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 6 (ensure availability and sustainable management of water and sanitation for all, especially water-related disaster), 11 (sustainable cities and communities), 13 (climate action), dan 17 (partnership for the goal), BRIN bersama UNESCO dan U-INSPIRE diselenggarakanlah pada _The 3rd International Workshop and Training on Youth and Young Professionals (YYPs) in Science, Engineering, Technology, and Innovation_ (SETI) _for Disaster and Climate Resilience_, di gedung B.J. Habibie, Jakarta pada 4-Desember 2023 Diikuti 111 peserta, terdiri dari 84 peserta nasional dan 27 peserta internasional dari 14 negara, diantaranya Afghanistan, Kirghistan, China, India, Malaysia, Maladewa, Mongolia, Nepal, Nigeria, Filipina, Timor Leste, Vietnam, dan Laos.
Wahyu Widodo Pandoe selaku Organizing Committee Chair yang juga _Chair of Indonesia National Committee for_ IOC-UNESCO _Programme_ BRIN berharap agar melalui kegiatan tersebut mampu menyiapkan pemuda dan profesional muda yang akan menjadi pemimpin. partisipasi mereka dalam ketahanan bencana dan iklim merupakan hal yang penting, sembari meningkatkan peluang pengembangan profesional mereka melalui partisipasi berbagai platform regional dan nasional, dan meningkatkan kegiatan internasional, riset, dan publikasi bersama, juga menciptakan inovasi.
Adanya kegiatan tersebut memberikan gambaran pada kita bahwa masalah perubahan iklim merupakan hal nyata dan menjadi permasalahan kita semua, oleh sebab itu Adaptasi dan mitigasi harus dilaksanakan secara bersama-sama untuk mengatasi tantangan perubahan iklim. Semakin dini dan efektif tindakan yang diambil, maka akan semakin besar peluang kita untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim tersebut.